“ Memburu Lailatul Qadr “

Posted by www.amandelsehat.com | 5:21 PM

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra, beliau pernah memanggil para sahabat untuk membicarakan tentang malam Lailatul Qadr. Abdullah bin Abbas, termasuk salah satu dari mereka yang megikuti majlis tersebut.

Para sahabat mengemukakan pendapat mereka masing-masing. Ada yang berpendapat malam ke-21, ada yang mengatakan malam ke-23, malam ke-25 dan lain-lain.

Karena merasa usianya termuda, Abdullah bin Abbas hanya diam mendengarkan tanpa mengemukakan pendapat. Sayyidina Umar bertanya menegur, “Mengapa kamu diam saja”.

“Bukankah anda memerintahkan saya untuk diam sebelum yang lain mengemukakan pendapatnya?”, balas Abdullah bin Abbas.

“Aku mengundangmu untuk berbicara”.

Setelah perintah Khalifah Umar ini, Abdullah bin Abbas angkat bicara, “Sesungguhnya Allah ganjil dan mencintai yang ganjil. Ia menciptakan 7 langit, menjadikan bilangan hari sebanyak 7, menetapkan thawaf di Ka'bah 7 kali, Sai antara Shafa dan Marwa 7 kali, melempar jumroh 7 kali. Menciptakan manusia melalui 7 tahap dan memberikan rizki 7 macam”.

“Bagaimana Allah menciptakan manusia melalui 7 tahap dan menjadikan rizkinya dari 7 macam. Kamu mengetahui apa yang tidak kami ketahui”, tanya khalifah Umar.

Abdullah bin Abbas menerangkan satu persatu ayat yang ia maksudkan setelah itu ia berkata, “…. Aku berpendapat, Waallaahu'alam, malam Lailatul Qadr terjadi pada malam ke-23, karena sisa bulan Ramadhan tinggal 7 hari lagi”.

Banyak pendapat mengenai kapan malam Lailatul Qadr, bahkan di kalangan para sahabat seperti di atas. Namun berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW, mayoritas ulama berpendapat pada 10 malam terakhir. Pendapat ini masih dipersempit lagi, yakni pada malam-malam ganjil 10 hari terakhir Ramadhan.

Perbedaan pendapat di kalangan para sahabat dan ulama ini termasuk sesuatu yang wajar, karena memang Allah menyembunyikannya. Dan hikmah penyembunyian ini justru lebih baik bagi manusia.

Menurut Fakhru ar-Razi, salah satu hikmahnya, adalah karena besarnya kasih sayang Allah. Sekiranya malam tersebut telah diketahui dan masih juga manusia bermaksiat, maka mereka akan menerima konsekuensi yang sangat berat.

Sedang bagi yang menjalankan ketaatan, penyembunyian ini juga mengandung hikmah. Diantaranya, agar mereka tidak hanya mengandalkan amalnya di malam Lailatul Qadr.

Bila mengingat besarnya pahala yang dijanjikan Allah secara langsung di dalam Firman-Nya, “Malam kemuliaan itu (Lailatul Qadr) lebih baik dari seribu bulan. (Q. S. 97; 3) dan hadits Nabi SAW, maka kerugian besar akan diterima oleh mereka yang tidak memburunya.

Lalu bagaimana cara memburu Lailatul Qadr? Semasa hidup, Rasulullah SAW telah mencontohkannya. Bila memasuki 10 malam terakhir Ramadhan, beliau mengencangkan ikat pinggang, menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya untuk beribadah.

Kalaupun tidak mampu mencontoh Nabi SAW, minimal masing-masing pribadi bisa menambah berbagai amal ketaatan di dalamnya. Namun yang perlu diingat, pahala yang sangat besar ini tidak akan diberikan kepada sembarang orang. Kesiapan dari masing-masing pribadi turut menentukan.

Sesuatu yang bersifat besar atau juga Agung, termasuk Lailatul Qadr, tentu saja tidak sembarang orang akan mampu meraihnya. Mereka yang telah mengisi 20 hari pertama dengan berbagai peningkatan amal ketaatan, berarti mempersiapkan diri untuk menerima Lailatul Qadr.

Sekalipun demikian, tidak berarti pintu telah tertutup bagi yang 20 hari sebelumnya belum mempersiapkan diri. Yang terpenting, kita buru Lailatul Qadr dengan berbagai peningkatan amal, sekalipun hanya sedikit atau sesuai kemampuan masing-masing. Waallahu A'lam.[Mhs. HU Solo Pos ]

0 comments